Saturday, April 4, 2020

Polemic Covid-19



FaizA’laSyauqy_201610050311007_KomunikasiPemerintahan&Politik

Menelaah Langkah Pencegahaan Pemerintah Indonesia Terhadap Pandemic Wabah COVID-19 

Mapping
Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo ‘Jokowi’ diketahui secara resmi mengumumkan kasus pertama positif terinfeksinya virus corona, atau yang terkena penyakit COVID-19, di Indonesia, yang saat itu belakangan diketahui bahwa dua orang perempuan berusia 31 tahun dan ibunya berusia 64 tahun mengetahui status mereka yang terinfeksi dari berita, yang juga kemudian Presiden mengumumkan hal tersebut kepada publik sebelum petugas kesehatan memberitahukannya kepada mereka secara langsung. Insiden ini hanya salah satu kesalahan dari banyak langkah besar yang diambil pemerintah sebelumnya yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai kemampuan menanggapi pandemik global ini. Meskipun fokus utama memang wajib ditujukan untuk merawat mereka yang sudah terinfeksi dan mencegah penyebaran lebih lanjut, penyelidikan yang komprehensif juga harus segera dilakukan di saat yang tepat untuk memeriksa kesalahan serius yang telah dibuat sehingga membahayakan kehidupan masyarakat. Indonesia seharusnya lebih siap di masa depan dalam menyikapi hal ini.
Sejak berita mulai muncul pada akhir Desember 2019 tentang virus baru yang mengkhawatirkan menyebar melalui provinsi Wuhan di Cina tersebut, beberapa tindakan dunia mulai dikerahkan mulai dari para ahli kesehatan yang telah meningkatkan kesiagaan, dan pada 30 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara resmi menetapkan tahap ‘darurat kesehatan global’ setelah 213 kasus meninggal dan 9.692 kasus dari seluruh 31 provinsi Cina dilaporkan.
Setelahnya, negara lain seperti India, Filipina, dan juga beberapa negara di Eropa, Australia, Jepang, Singapura, Vietnam, dan Amerika Serikat melaporkan kasus yang menunjukan kekhawatiranya persoalan positif COVID-19. Sementara itu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Terawan Agus Putranto berusaha untuk mengecilkan keadaan darurat kesehatan global dengan mengatakan kepada masyarakat, “Jangan panik, jangan resah,Enjoy saja. Makan yang cukup, gaya hidup sehat. Kalau flu, batuk, ya pakai masker. Niat Menteri Kesehatan mungkin untuk menenangkan public yang sebetulnya tentu dibutuhkan, akan tetapi tentunya pesan untuk bertindak “enjoy aja” terlihat meremehkan dan menganggap enteng masalah yang sangat serius dan mematikan yang bahkan langsung diintruksikan darurat dari WHO tersebut.
Beberapa minggu kemudian, ketika Indonesia secara mengejutkan masih menjadi salah satu dari sedikit negara besar di Asia yang tidak memiliki kasus positif COVID-19 meskipun dengan adanya penerbangan langsung dari Wuhan yang tidak dihentikan hingga 23 Januari 2020 Menteri Terawan yang dikenal religius kembali mengejutkan publik dengan mengklaim situasi tersebut sebagai berkah dari yang Maha Kuasa. Ia juga mengatakan bahwa studi yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari Universitas Harvard, yang menyatakan bahwa Indonesia mungkin memiliki kasus yang tak terdeteksi, sebagai sebuah “penghinaan. Seolah melontarkan sikap tidak sopan.
Meskipun ada banyak pertanyaan terkait status Indonesia yang katanya pada saat itu masih ‘bebas virus corona’, Pemerintah awalnya berupaya untuk memanfaatkan situasi yang ada. Setelah rapat kabinet pada 25 Februari 2020, Presiden Jokowi mengeluarkan empat instruksi untuk mengantisipasi dampak COVID-19 terhadap perekonomian Indonesia, yang mana di antaranya adalah dengan memaksimalkan kegiatan konferensi dalam negeri, MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition), serta meningkatkan promosi untuk menyasar pasar wisatawan mancanegara yang mencari alternatif destinasi wisata akibat batal mengunjungi Cina, Korea, dan Jepang (yang pada saat itu merupakan tiga negara paling terdampak oleh COVID-19).
Message
Pada saat yang sama, pemerintah menyiapkan 72 miliar rupiah (5.2 juta dollar AS) untuk membayar orang-orang yang berpengaruh di media sosial (influencers) untuk mempromosikan Indonesia sebagai tujuan wisata. Pada saat negara-negara lain berusaha memperlambat penyebaran COVID-19 dengan memberlakukan pembatasan perjalanan, Indonesia malah mendorong sebanyak mungkin wisatawan agar datang berkunjung. Alih-alih menggunakan dana negara untuk memberi informasi kepada masyarakat tentang tindakan pencegahan kesehatan dasar, pemerintah malah berencana membelanjakannya untuk kampanye daring pariwisata. Kemudian, ketika Arab Saudi memberlakukan pembatasan perjalanan termasuk penangguhan semua jamaah umrah Negara asing demi terwujudnya kepentingan kesehatan dan keselamatan publik, Indonesia awalnya mencari semacam fleksibilitas dari Riyadh, mengingat statusnya sebagai negara ‘bebas virus corona , sekalipun terdapat risiko para jamaah dapat terinfeksi dan membawanya ke Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia masih mengadopsi pola pikir economic developmentalist, dengan mengorbankan situasi darurat kesehatan global.
Setelah melihat ketidaksiapan pemerintah Indonesia yang malah bersikap santai sebelum kasus pertama COVID-19 dikonfirmasi, pengumuman Presiden Jokowi pada 2 Maret diharapkan akan memusatkan pikiran para pejabat pemerintah dalam menghadapi kenyataan pahit ini. Lebih lanjut pemerintah juga diharapkan akan melakukan tindakan bersama dan menghadirkan pendekatan yang lebih terkoordinasi, responsif, dan komprehensif. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada satu pun dari harapan tersebut yang terwujud. Walaupun para ahli menyoroti pentingnya keterbukaan dan transparansi sebagai salah satu ‘kunci utama dari respons efektif di beberapa negara’, Presiden sebaliknya mengakui, “Kami tidak ingin menciptakan rasa panik, tidak ingin menciptakan keresahan di tengah masyarakat. Oleh sebab itu dalam penanganan memang kami tidak bersuara. Hal tersebut termasuk lokasi kasus positif COVID-19 di Indonesia, yang menyebabkan pemerintah daerah frustrasi dan kemudian membuat pengumuman mereka sendiri. Seperti yang dikatakan oleh seorang komentator, “Salah satu alasan mengapa pemerintah daerah mulai bertindak sendiri adalah karena mereka kehilangan kepercayaan kepada kemampuan Jokowi untuk mengendalikan wabah ini”. Perpecahan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi jelas ketika Presiden secara terbuka mengingatkan bahwa kebijakan lockdown tidak boleh diambil oleh pemerintah daerah, itu kebijakan pemerintah pusat. Hal inilah yang menjasi cikal bakal pro kontra ditengah-tengah masyarakat hingga saat ini.
Selain perang mulut dengan pemerintah daerah, pemerintah Indonesia juga terlibat percekcokan dengan negara tetangga Singapura setelah Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, menuduh Singapura menyembunyikan informasi. Yang memalukan bagi Jakarta, Kementerian Kesehatan Singapura menunjukkan bahwa pihaknya telah ‘dengan cepat membagikan informasi kepada Indonesia melalui saluran resmi IHR (International Health Regulations/Regulasi Kesehatan Internasional) mengenai kasus positif COVID-19 yang melibatkan orang Indonesia, untuk memfasilitasi pelacakan kontak di Indonesia yang telah dikonfirmasi oleh juru bicara nasional IHR Indonesia di Kementerian Kesehatan Indonesia. Kurangnya komunikasi antara pejabat Indonesia pasti telah membuat Singapura bingung. Hal lain yang memalukan dari Indonesia, setidaknya dua pasien melarikan diri dari rumah sakit (satu kasus positif dari RSUP Persahabatan di Jakarta dan satu kasus suspect dari RS Mardi Rahayu di Kudus) dimana mereka seharusnya diisolasi
Dalam sebuah studi kasus tentang kinerja menyedihkan Indonesia, masyarakat baru diberitahu tentang kasus pelarian pertama seminggu setelah insiden terjadi dan para pihak berwenang pun tidak tahu ke mana pasien melarikan diri. Achmad Yurianto kemudian menyangkal bahwa pasien melarikan diri, dengan mengklaim bahwa orang tersebut hanya kembali ke rumah selama sehari dan kemudian masuk ke rumah sakit lain. Kasus ini sekaligus mengungkap bahwa pasien tersebut meragukan hasil pemeriksaan terhadapnya dan enggan berada di ruang isolasi bersama dengan pasien lain, karena merasa takut akan terinfeksi jika ia tinggal di rumah sakit. Keadaan yang menyedihkan ini bisa dibilang menunjukkan kurangnya kepercayaan publik kepada para pejabat pemerintah.
Output
Hal-hal di atas menunjukkan banyaknya kesalahan langkah yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pandemic global COVID-19 ini. Kita bahkan belum membahas buruknya kemampuan pengujian dari pemerintah yang diadakan sejak 19 maret 2020 lalu, bahkan hanya 1.592 tes yang telah dilakukan di Negara yang diketahui berpenduduk 270 juta orang ini sedangkan Korea Selatan telah melakukan lebih dari 220.000 tes meskipun populasinya jauh lebih kecil yaitu 51 juta orang. 16 atau kurangnya alat pelindung bagi petugas medis yang akhirnya sebagian menggunakan jas hujan. Sebagai negara berkembang dengan sistem perawatan kesehatan yang terbatas, beberapa masalah memang sudah dapat diperkirakan. Namun, kesalahan tidak perlu yang dilakukan oleh pemerintah sendiri tidak dapat diterima. Meskipun fokus utama memang wajib ditujukan untuk merawat mereka yang sudah terinfeksi dan mencegah penyebaran lebih lanjut, penyelidikan yang komprehensif juga harus segera dilakukan di saat yang tepat untuk memeriksa kesalahan serius yang telah dibuat dan membahayakan kehidupan masyarakat. Investigasi tersebut harus melibatkan anggota parlemen, pakar medis, akademisi, dan kelompok sipil dengan tujuan mengidentifikasi apa yang salah, siapa yang melakukan kesalahan langkah, dan bagaimana memastikan agar hal itu tidak terjadi lagi. Setidaknya mengurangi kesulitan yang dialami para pekerja medis yang berdiri digarda terdepan demi mensterilkan keadaan yang saampai saat ini belum usai perkaranya, serta menabah daya serta semangat bagi yang terkena agar lebih bisa sabar serta tabah menghadapi musibah yang ada ini.
Saran
Harapanya pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara konkret bisa membantu masyarakat mencegah dan mengurangi penyebaran virus, misalnya dengan membagi-bagikan masker, cairan pembersih tangan (hand sanitizer), dan cairan disinfektan secara terjun langsung agar memang kekhawatiran masyarakat berkurang, ditambah himbauan pemerintah itu sebetulnya baik agar kita tetap berdiam dulu dirumah, akan tetapi pemerintah pun harus faham atas tanggung jawabnya bahwasanya tidak semua rakyat kita itu memiliki gaji tetap seperti pedagang asongan kemudian buruh perusahaan dll, tidak sama seperti pns pejabat, polisi yang memiliki gaji tetap yang mana kerja gak kerja dapat uang, dimana letak keadilan ? seharusnya pemerintah mampu juga menyediakan/menjamin bahan pokok makanan kepada rakyat-rakyat kecil yang pastinya pekerjaan mereka terenggut oleh wabah COVID 19 ini.